Dee Stories

Kumpulan artikel parenting yang ditulis oleh blogger parenting Indonesia.
Suka travelling & kuliner. Konselor ASI &MPASI.

Kontrasepsi







Hari ini saya menemani suami terapi di rumah sakit. Rencananya saya mau sekalian periksa ke dokter kandungan. Eitss, bukan periksa kehamilan kok. Tapi periksa kontrasepsi, kontrol iud yang saya pakai.





Lalu sambil menunggu pemeriksaan, saya chat sahabat yang bekerja di BKKBN. Mau tanya tentang pil KB laki-laki. What? Pil KB untuk laki-laki? Adakah? Ada!.





Dari pil KB obrolan kami berlanjut ke jenis-jenis alat kontrasepsi lainnya. Hingga berujung ke diskusi gender. Eaa, berasa lagi di ruang kuliah sosiologi gender. Mata kuliah yang sayangnya saya lewatkan.. 😅😅😅.





Bahwa selama ini praktek kontrasepsi di Indonesia masih bias gender. Atau bahkan bersifat ketidakadilan gender. Mengapa demikian? Apa buktinya? 





Di Indonesia, bila berbicara tentang kontrasepsi maka yang diminta untuk melakukannya adalah perempuan. Alat-alat kontrasepsi yang ada kebanyakan juga untuk perempuan.





Mengapa demikian? Maklum, Indonesia adalah masyarakat dengan budaya patriakhi. Dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Kondisi kultural itulah yang nantinya melegitimasi ketidakadilan gender, termasuk dalam memilih kontrasepsi.




Bentuk ketidakadilan gender dalam pemilihan kontrasepsi pun beragam.






1. Kekerasan ; perempuan yang dipaksa melakukan sterilisasi alias tubektomi untuk kontrasepsi adalah bentuk kekerasan. Bentuk kekerasannya bisa fisik maupun psikis. Secara fisik, sterilisasi bisa memurunkan produksi hormon ovarium dan monopose dini. Secara psikologis, bisa saja malu karena sebagai perempuan sudah tidak bisa mengandung lagi.





2. Stereotipe ; stereotipe berarti pandangan terhadap kelompok tertentu. Stereotipe bahwa perempuanlah yang harus bertanggungjawab dalam menggunakan kontrasepsi. Mengapa? Ini karena adanya stereotipe bahwa permpuan yang memiliki rahim. Padahal, rahim tidak akan berfungsi kalau tidak ada pembuahan antara sperma dan ovum. Iyakan? 





3. Subordinasi ; subordinasi pada perempuan membuat perempuan lebih banyak harus berdiskusi untuk mengambil sebuah keputusan. Termasuk dalam memilih kontrasepsi. Dan setelah diskusi, ujung-ujungnya perempuan yang harus menggunakan kontrasepsi.





Lalu kenapa saya perlu sharing tentang ini. Apakah saya juga mengalami kekerasan gender dalam memilih kontrasepsi? Hmmm, mungkin saya SEDIKIT mengalaminya. Kenapa sedikit? Karena sebenarnya selama ini pasangan saya juga tidak keberatan untuk melakukan kontrasepsi.





Pada saat baru memiliki anak pertama, kami menggunakan kontrasepsi kondom dan senggama terputus. Dimana keduanya itu menjadi tanggungan pasangan saya. Namun ternyata, kurang efektif. Saya hamil di saat anak pertama berusia dua tahun. Padahal maunya kalau anak pertama sudah berusia 5 tahun 😁





Lalu ketika anak kedua lahir, saya mengambil keputusan menggunakan iud. Mengapa? Bukan karena suami tidak mau memakai kontrasepsi. Tapi ya itu, kontrasepsi untuk laki-laki masih terbatas pilihannya. Selain kondom ya vasektomi. Tentunya, suami pun tak mau vasektomi. Dia juga tak mengijinkan saya tubektomi.





Disinilah alasan mengapa saya sedikit mengalami kekerasan gender dalam memilih kontrasepsi. Karena di Indonesia belum ada banyak pilihan kontrasepsi untuk laki-laki. 





Jadi saat saya tahu bahwa ada pil KB untuk laki-laki, saya menyambut gembira. Iyalah, saya juga ngeri kalau tiap lima tahun sekali copot dan pasang iud. Suami juga nggak keberatan. Cuma masalahnya, harus konsultasi lebih lanjut. Mana yang lebih efektif mencegah kehamilan. 






Buat apa sih cerita kontrasepsi secara terbuka gini? Bukannya ini rahasia keluarga ya. Sharing ini bukan untuk mengumbar urusan ranjang ke publik. Tapi lebih kepada ingin berbagi. Bahwa masih banyak perempuan yang kurang pengetahuan tentang kontrasepsi. Bahwa masih banyak perempuan yang belum sadar kalau tubuhnya adalah kuasanya. Perempuan punya hak untuk menjaga tubuhnya. Punya hak kapan mau hamil atau tidak. Perempuan yang merasa sudah cukup dengan anak yang dimiliki bukanlah perempuan yang tidak keibuan, tidak ingin anak. Bukan. Tapi mereka adalah perempuan yang mencoba mempertahankan haknya. Hak untuk mengurus dirinya sendiri dan anaknya. Kalau saya, hanya mampu fokus mengurus dua anak saja. Nggak sanggup kalau harus urus banyak anak, nggak mau juga. 





Lalu jika ada perempuan yang bisa urus banyak anak, gimana? Ya nggak masalah. Hak pribadi lah itu. Poinnya, jangan sampai merasa terpaksa harus memproduksi banyak anak. Jangan merasa terpaksa harus menggunakan kontrasepsi. Komunikasi dengan pasangan itu perlu, untuk diskusi bersama. Bukan sebagai keputusan sepihak. Ingat girls, tubuhmu adalah kuasamu 😘😘😘😘




3 komentar

  1. Kalau suami malah perjanjian di awal sebelum nikah gak suka pakai alat kontrasepsi baik buat saya maupun buat dia karena katanya "gak enak" wkwkwk dan jadinya diakali dengan trik khusus

    BalasHapus
  2. Iya ya mba betul bgt... Udh kita yg cape ngandung.. Ngelahirin.. eeh msh jg kita yg sibuk ngurusin per KB an... Kok knp perempuan aja yg sibuk ngurusin gituan.. Knp lelaki ko ga seribet ky kita... Suka ga adil aja ya... Enaknya mau sama" giiran ga enak kita sendiri yg nanggung ( alat kb). 😱

    BalasHapus
  3. Harusnya memang adil, laki laki juga harus pake kontrasepsi. Eh tapi aku juga pake iud, lebih karena takut hamil lagi wkwkwk. Tapi kadang sebel juga karena suamiku ngga mau sama sekali pake kontrasepsi, mau ngga mau ya pake iud itu walo menyakitkan hikss. Nah ini kayaknya sudah masuk bagian ngga adil :(

    BalasHapus