Dee Stories

Kumpulan artikel parenting yang ditulis oleh blogger parenting Indonesia.
Suka travelling & kuliner. Konselor ASI &MPASI.

Ramadan di Perantauan

 

Ramadan di Perantauan



Tak terasa, sudah memasuki hari ke 21 Ramadan. Menjelang sepuluh hari terakhir, membuat saya kembali teringat pengalaman Ramadan yang paling berkesan. Ingatan saya terlempar pada 12 tahun yang lalu, saat masih merantau di ibukota. Ramadan di perantauan menjadi sebuah momen berkesan bagi saya. 


Merantau ke Ibukota


Tahun 2010, saya memberanikan diri merantau ke ibukota. Menerima penawaran mengajar bimbingan belajar (bimbel) penuh waktu di sebuah bimbel terbesar di Indonesia. 


Saat itu, saya baru berusia 23 tahun. Seumur hidup, baru itu kali pertama jauh dari rumah. Belum pernah merasakan merantau, eh tiba-tiba harus merantau ke ibukota. 


Meski pengalaman pertama, bagi saya ibukota tak seseram itu. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali menginjakkan kaki di ibukota. Saya juga lahir dan besar di Surabaya, kota metropolitan yang paling tidak 11 12 sama dengan ibukota. Jadi, saya santai saat harus tinggal di ibukota jauh dari keluarga. 


Bertemu Keluarga Baru


Saat di ibukota, kantor memberikan fasilitas asrama. Alhamdulillah, tak perlu keluar biaya untuk bayar kos. 


Ramadan di Perantauan



Di asrama, sudah ada 3 rekan kerja sebelumnya. Dan ternyata tiga-tiganya berasal dari Jawa Timur, bahkan yang satu adalah kakak kelas saya saat di bangku SMA.


Lalu, ada juga 3 rekan kerja baru, ada yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Padang. Kami bertujuh tinggal di asrama. Rasanya ramai. 


Bertemu keluarga baru di asrama membuat saya tak merasa sendirian. Meski jauh dari rumah, rasanya tetap seperti di rumah. 


Puasa Pertama di Perantauan


Puasa pertama di perantauan pun saya rasakan. Kami bertujuh bersepakat masak nasi bersama. Kebetulan hanya ada satu magic com di asrama. Jadi, bisa kami gunakan bersama. 


Untuk lauk, kami sediakan sendiri. Biasanya saat sahur kami memasak yang gampang saja, seperti menggoreng telur ataupun sarden. Kadang juga menghangatkan masakan yang dibeli saat berbuka. 


Kami beruntung, di asrama ada fasilitas dapur lengkap. Kami bisa memasak sesekali. Lumayan menghemat anggaran. Hidup di perantauan harus hemat. 


Kadang kami bisa makan mewah. Menikmati kiriman daging rendang dari orang tua salah satu rekan yang berasal dari Padang. Rendangnya enak banget. Beneran rendang asli ranah minang. Dagingnya tebal dan empuk, bumbu rendang warna hitam pekat yang sangat lezat. Ah, perbaikan gizi bagi anak kos. Hehehe. 


Kami pun pernah kompak terlambat sahur. Duh, bisa-bisanya kami bangun sepuluh menit menjelang imsak. Untungnya sudah masak nasi, maka kami pun bergegas makan sahur dengan lauk seadanya. Andalannya ya telur atau abon. 


Bulan puasa kami juga mengadakan agenda beribadah bersama. Mulai dari shalat tarawih berjamaah hingga tadarus Al Quran. Kegiatan beribadah bersama ini semakin menghangatkan ikatan kami. Suasana asaram pun adem ayem karena disinari bacaan Al Quran. Damai rasanya. 


Lalu, menjelang sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan kami juga pergi itikaf. Masjid Istiqlal menjadi tujuan kami untuk beritikaf, memburu malam lailatul qadar. 


Ah, bahagia rasanya. Saat itu meski sedang di perantauan, suasana hangat Ramadan masih terasa. Saya bersyukur dikelilingi teman-teman baik. Teman-teman di asrama Mampang adalah saudara bagi saya. Kami banyak melewati suka dan duka bersama layaknya anak rantau. 


Dengan kebersamaan yang ada, Ramadan tetap menjadi momentum yang hangat. Kami tak merasa kesepian. 


Pengalaman inilah yang terus saya ingat. Pengalaman menjalani puasa di perantauan adalah pengalaman Ramadan paling berkesan untuk saya. 


Pengalaman yang tak terlupakan. Meski sudah 1 dekade lewat, kenangannya masih terjag. Terukir abadi di dalam hati. 


Bagaimana dengan teman deestories? Apa pengalaman Ramadan yang paling berkesan? 



#BPNRamadan2024

#BPNRamadan2024Day7




Tidak ada komentar

Posting Komentar